Mar 4, 2023

Keberkahan Dari Penguasa Yang Adil - Cerota Hikmah Islami


Suatu masa sebelum diutusnya Nabi SAW, salah seorang Kisra (Raja) Persia yang adil bijaksana sedang berburu di hutan belantara. Karena asyiknya mengejar buruan, sang Raja terpisah dari pasukannya, padahal saat itu hujan mulai turun. Ia melihat sebuah gubug sederhana dan minta ijin berteduh, yang segera saja diijinkan. Penghuni gubug itu, seorang wanita tua dan anak gadisnya tidak mengenal sang raja karena saat itu tidak memakai pakaian kebesarannya.

Di salah satu sudut gubug itu ada seekor lembu, sang gadis memerah susunya dan memperoleh hasil yang melimpah (banyak sekali), untuk menjamu tamunya tersebut. Sang Raja minum dan ia langsung merasakan kesegarannya. Melihat keadaan itu, terbersit dalam hati sang Raja untuk menerapkan aturan pemungutan cukai (pajak) bagi pemilik lembu. Hal itu akan menjadi sumber pemasukan (PAD) yang sangat lumayan bagi kerajaan.

Ketika malam menjelang, sang gadis akan memerah susu lembu seperti biasanya, tetapi ia tidak mendapatkan setetespun, maka ia berseru, “Wahai ibu, sepertinya raja mempunyai niat jahat terhadap rakyatnya!!”

Ibunya berkata, “Mengapa engkau berkata seperti itu??”

Sang gadis berkata, “Karena lembu ini tidak mengeluarkan susunya walau hanya setetes!!”

Sang ibu berkata, “Sabarlah, ini masih malam, nanti menjelang subuh, cobalah lagi untuk memerahnya!!”

Sang raja yang tengah beristirahat di atas tumpukan jerami itu dengan jelas mendengar pembicaraan ibu dan anak tersebut. Ia berkata pada dirinya sendiri, “Begitu besarkah pengaruhnya dari apa yang aku putuskan??”

Ia berkutat dengan pikirannya sendiri, dan akhirnya membatalkan keinginannya untuk menarik pajak (cukai) bagi pemilik lembu, yang kehidupan mereka umumnya sangat sederhana. Menjelang subuh, sang gadis mencoba memerah susu lembunya, dan ia memperoleh hasil yang melimpah seperti sebelumnya. Maka ia berseru, “Wahai ibu, rupanya niat jahat sang raja telah hilang, lembu ini telah mengeluarkan susunya lagi!!”

Sang ibu mengucap syukur, begitu juga dengan sang raja yang ikut mendengarnya. Ketika hari telah terang, sang raja berpamitan dan mengucap terima kasih, tetapi tetap tidak membuka jati dirinya. Tidak lama berselang, datang serombongan pasukan yang membawa ibu dan anak penghuni gubug sederhana itu ke kotakerajaan. Mereka diperlakukan dengan hormat dan penuh penghargaan.

Ketika mereka dihadapkan kepada sang Raja, barulah mereka menyadari kalau tamunya semalam adalah penguasa yang sempat ‘dirasani’nya (dibicarakan, dighibah). Mereka berdua meminta maaf, tetapi raja yang bijaksana itu berkata, “Tidak mengapa, tetapi bagaimana engkau bisa mengetahui hal itu??”

Sang ibu berkata, “Kami telah tinggal puluhan tahun lamanya di tengah hutan itu. Jika raja yang memerintah berlaku adil dan baik, maka bumi kami ini subur, kehidupan kami luas dan lapang, serta ternak kami banyak menghasilkan. Tetapi jika raja yang memerintah berlaku kejam dan buruk, maka bumi kami ini kering, tanah dan ternak-ternak kami tidak menghasilkan apa-apa, sehingga kehidupan kami menjadi sempit!!”


Mar 2, 2023

Keadilan Lebih Baik Daripada Keindahan - Cerita Hikmah Islami


Anu Sirwan adalah salah satu Kisra (Kaisar) Persia yang cukup terkenal karena keadilan dan kearifan (kebijaksanaan)-nya kepada rakyatnya. Ia hidup jauh sebelum diutusnya Nabi SAW, tetapi kisah-kisah keadilannya cukup terkenal dan menyebar di kalangan masyarakat Arab, walau sebenarnya ia dan rakyatnya adalah penyembah api, yakni beragama Majusi.

Salah satu kisahnya adalah ketika Anu Sirwan akan melakukan pembangunan untuk meluaskan istananya. Ketika ia melakukan penggusuran dan pembebasan tanah beberapa orang rakyatnya, ternyata ada seorang wanita tua dengan gubug reotnya yang menolak untuk menjual. Berbagai upaya, ancaman dan rayuan, cara halus hingga keras dilakukan tetapi wanita itu tetap bertahan. Wanita itu berkata, “Saya tidak akan menjual walau akan dibayar dengan sekeranjang uang emas. Tetapi kalau dia (yakni Kisra Anu Sirwan) akan menggusurnya, dan dia memang mampu melakukannya, maka terserah saja!!”

Parapelaksana pembangunan perluasan istana itu melaporkan hal itu kepada Anu Sirwan, dan berencana menggusur gubug reot wanita tua itu, karena posisinya memang tepat di tengah-tengah istana itu, di bagian depan pula. Tetapi Anu Sirwan berkata, “Jangan lakukan itu, biarkan saja gubug itu di tempatnya, tetapi tetap laksanakan perluasan pembangunan!!”

Pembangunan terus dilaksanakan, hanya saja ada pembengkokan untuk menghindari gubug wanita tua. Ketika telah selesai dan tamu-tamu datang untuk menghadiri undangan Kisra Abu Sirwan dalam suatu acara di istana, banyak sekali yang berkomentar, “Alangkah indahnya istana ini jika saja tidak ada bengkoknya (yakni gubug wanita tua itu)!!”

Mendengar komentar-komentar seperti itu, Anu Sirwan berkata, “Justru dengan kebengkokan itulah perkaranya menjadi lurus, dan keindahannya semakin sempurna!!”

Walau secara penampilan memang ‘kurang indah’, tetapi itulah memang yang benar dan lurus. Keadaan dan ‘keindahan’-nya menjadi sempurna karena memang tidak ada satu pihakpun, walau sangat lemah dan tidak berdaya, yang merasa didzalimi dengan sikap sang penguasa.

Peristiwa yang hampir sama terjadi ketika Mesir masuk menjadi wilayah Islam setelah terlepas dari Rumawi pada masa khalifah Umar bin Khaththab. Gubernur Mesir saat itu, Amr bin Ash bermaksud mendirikan sebuah masjid (yang kini dikenal dengan nama Masjid Amr bin Ash), tetapi seorang wanita Qibhti beragama Nashrani menolak ketika gubug reotnya akan dibeli/diganti dengan harga berapapun. Hanya saja Amr bin Ash tetap memerintahkan untuk menggusur rumah wanita Qibhti itu agar pembangunan masjidnya segera selesai.

Wanita Qibthi yang merasa didzalimi oleh tindakan sang gubernur itu berjalan kaki menuju Madinah untuk mengadukan persoalannya kepada khalifah. Mendengar pengaduan itu, Umar mengambil pecahan tembikar, dan menulis dengan pedangnya, “Kita lebih berhak (wajib) berbuat keadilan daripada Kisra Anu Sirwan!!”

Umar memerintahkan wanita Qibhti itu menyerahkan ‘surat’ pecahan tembikar itu kepada Gubernur Amr bin Ash. Ia juga memberikan perbekalan yang berlebih kepada wanita beragama Nashrani itu, agar bisa sampai kembali ke Mesir dengan selamat. Ketika Amr bin Ash menerima ‘surat’ dari Umar itu, ia langsung meletakkan pecahan tembikar tersebut di atas kepalanya, sambil menangis memohon ampunan kepada Allah. Ia memerintahkan para pelaksana pembangunan untuk mendirikan kembali gubug wanita Qibhti itu, dan membelokkan bangunan masjid, sehingga bentuknya membengkong.


Tidak Berputus Asa Dari Rahmat Allah - Cerita Hikmah Islami


Jauh sebelum diutusnya Nabi SAW, pernah ada seseorang yang luar biasanya ‘prestasi’ kejahatannya, ia telah membunuh sembilanpuluh sembilan orang tanpa alasan yang benar. Namun demikian, tiba-tiba tergerak dalam hatinya untuk bertaubat, hanya saja ia bimbang apakah masih ada peluang baginya untuk kembali ke jalan kebaikan. Orang-orang di sekitarnya menyarankan agar menemui seorang rahib untuk menanyakan hal itu.

Ketika tiba di tempat kediaman sang rahib, ia menceritakan kegundahan hatinya dan keinginannya untuk bertaubat. Sang rahib bertanya, “Apakah kesalahanmu itu?”

Ia berkata, “Saya telah membunuh sembilanpuluh sembilan orang tanpa alasan yang benar!!”

“Apa??” Seru sang rahib penuh kekagetan, “Membunuh sembilanpuluh sembilan orang? Tidak ada jalan bagimu!! Tempat yang tepat bagimu adalah neraka!!”

Lelaki itu sangat kecewa sekaligus marah. Ia sadar bahwa kesalahannya memang begitu besarnya. Tetapi cara sang rahib menyikapi dan ‘memvonis’ itu sangat melukai perasaannya. Walau hatinya mulai melembut dengan keinginannya untuk taubat, tetapi jiwa jahatnya belum benar-benar menghilang. Tanpa banyak bicara, ia mengambil pisaunya dan membunuh sang rahib. Genap sudah seratus nyawa tidak bersalah yang melayang di tangannya, tetapi ‘panggilan’ Ilahiah untuk bertaubat terus mengganggu perasaannya, hanya saja ia tidak tahu harus bagaimana?

Suatu ketika ada orang yang menyarankan untuk menemui seseorang yang alim di suatu tempat, dan ia segera menuju ke sana. Ketika tiba di tempat tinggal sang alim, ia menceritakan jalan hidupnya, termasuk ketika ia menggenapkan pembunuhannya yang ke seratus pada diri sang rahib, dan tentu saja keinginannya untuk bertaubat. Sang alim yang bijak itu berkata, “Tentu saja bisa, dan tidak ada seorangpun yang bisa menghalangi keinginanmu untuk bertaubat. Tetapi tinggalkanlah tempat tinggalmu itu karena di sana memang kota maksiat. Pergilah ke KotaA (kota lainnya) karena di sana banyak orang yang beribadah kepada Allah, beribadahlah engkau bersama mereka, dan jangan pernah kembali ke kotamu itu. Insyaallah engkau akan memperoleh ampunan Allah dan dimudahkan jalan kepada kebaikan!!”

Lelaki itu segera berangkat ke kotayang dimaksudkan sang alim, tetapi di tengah perjalanan kematian menjemputnya. Datanglah dua melaikat untuk menjemput jiwa lelaki itu, satu Malaikat rahmat dan satunya Malaikat azab (siksa). Dua malaikat itu bertengkar dan masing-masing merasa berhak untuk membawa jiwa lelaki itu. Sang Malaikat rahmat berkata, “Ia telah berjalan kepada Allah dengan sepenuh hatinya!!”

Malaikat azab berkata, “Ia tidak pernah berbuat kebaikan sama sekali, justru kejahatannya yang bertumpuk-tumpuk!!”

Mereka berdua terus beradu argumentasi, sampai akhirnya Allah mengutus malaikat yang ketiga dalam bentuk manusia untuk menjadi ‘hakim’ bagi keduanya. Setelah masing-masing mengajukan pendapatnya, ia berkata, “Ukurlah jarak dua kota itu dari tempat kematiannnya ini, mana yang lebih dekat, maka ia termasuk dalam golongannya!!”

Mereka mengukur jaraknya, dan ternyata kota yang dituju (kota tempat ibadah dan penuh kebaikan) lebih dekat sejengkal daripada Kotamaksiat yang ditinggalkannya. Maka jiwanya dibawa oleh Malaikat rahmat, dan ia memperoleh ampunan Allah.

Dalam riwayat lainnya disebutkan, sebenarnya lelaki itu belum jauh meninggalkan kota maksiat tersebut. Tetapi Allah memang berkehendak untuk mengampuninya, maka dari tempat kematinnya itu, kota kebaikan dan ibadah dipanggil mendekat dan kota maksiat ‘dihalau’ menjauh hingga jarak keduanya hanya selisih sejengkal tangan, lebih dekat kepada kota kebaikan.


Kisah Abu Nawas - Mengelabui Raja


Setelah pembalasan Abu Nawas membunuh lalat-lalat dengan memporak-porandakan barang-barang baginda raja atas izin tertulis dari beliau. Baginda raja sangat kesal dan karena kekesalannya itu beliau ingin sekali menjebloskan Abu Nawas ke penjara. tapi baginda tidak memiliki alasan untuk melakukannya, karena orang seperti Abu Nawas bukanlah orang yang gampang dicari-cari kesalahannya.

Suatu hari baginda raja menemukan akal untuk menjebak Abu Nawas. Baginda berpikir pasti kali ini akan berhasil menghukum Abu Nawas. Baginda raja merencanakan sebuah perburuan di hutan dan mengajak serta Abu Nawas. Mendengar ajakan baginda raja untuk berburu, hati Abu Nawas merasai gelisah, karena ia sangat takut pada beruang. Namun ia tidak berani menolak ajakan baginda raja yang akan menghukum orang yang melawan perintahnya.

Hari yang direncanakan telah tiba. Cuaca pada hari itu sangat cerah, baginda raja dan pengawal kerajaan beserta Abu Nawas di dalamnya segera berangkat menuju hutan menunggangi kuda, ketika masih dalam perjalanan, tiba-tiba cuaca menjadi mendung. Baginda raja kemudian memanggil Abu Nawas untuk menghadapnya.

Baginda raja berkata kepada Abu Nawas:

“Wahai Abu Nawas, tahukan engkau alasan aku memanggilmu?” Tanya baginda.

“Ampun baginda raja, hamba belum mengetauinya,”  Jawab Abu Nawas.

Baginda raja kemudian kembali menyambung perkataannya,

“Cuaca tiba-tiba mendung, mungkin akan segera turun hujan dan hutan masih amat jauh, sedang kita harus berkumpul di tempat peristirahatan pada waktu makan siang. Engkau akan kuberi seekor kuda yang lamban, aku dan para pengawalku akan menunggang kuda yang cepat. Tapi bila hujan turun kita harus bisa menghindari agar pakaian kita tidak basah, kita harus melakukan dengan cara kita sendiri, sekarang mari kita berpencar.”  Titah raja kepada Abu Nawas.

Abu Nawas pun segera menunggangi kuda yang lamban dan ia tertinggal di belakang. Abu Nawas merasa kecewa, namun ia sudah menyadari jika baginda raja ingin menjebaknya dengan mencari-cari kesalahannya. Sebab jika ia tidak bisa melaksanakan titah baginda maka ia akan mendapatkan hukuman, mungkin ia akan dijebloskan kepenjara, karena itulah alasan baginda raja mengajaknya. mungkin untuk pembalasan atas penghancuran barang-barang baginda yang ia lakukan pikirnya.

Hujan tiba-tiba turun, baginda raja dan pengawalnya segera memacu kuda mereka yang cepat menuju tempat berteduh sementara. Namun  hujan yang begitu lebat tidak bisa dihindari, mereka sudah lebih dulu basah kuyup sebelum tiba di tempat berteduh. Akhirnya ketika waktu makan siang tiba, berangkatlah baginda raja dan pengawalnya untuk makan siang menuju tempat peristirahatan mereka dengan pakaian yang  masih basah. Akan tetapi belum lama mereka sampai di sana menyusullah Abu Nawas dengan kuda lambannya. Baginda raja dan pengawalnya dibuat bingung melihat Abu Nawas yang menyusul begitu cepat dan dengan pakaian yang masih kering. Mereka heran atas hal yang mereka anggap mustahil, tapi bisa dilakukan Abu Nawas.

Pada hari berikutnya baginda raja memberikan Abu Nawas seekor kuda yang cepat larinya, sedang beliau beserta pengawalnya menunggangi kuda yang lamban. Setelah mereka berpencar, cuaca pun tiba-tiba menjadi mendung dan hujan segera turun. Baginda raja dan pengawalnya basah kuyup tidak bisa menghindari hujan karena kuda tunggangan mereka sangat lamban. Abu Nawas segera memacu kudanya cepatnya menuju tempat peristirahatan dan ia lebih dulu sampai di sana dari rombongan baginda raja. Ketika baginda dan pengawalnya tiba dengan pakaian yang masih basah, mereka pun semakin bingung dan penasaran melihat Abu Nawas yang masih kering bajunya.

Baginda raja yang sudah sangat penasaran langsung bertanya kepada Abu Nawas:

“Wahai Abu Nawas, Aku sangat penasaran bagaimana kamu bisa menghindari hujan, sebab meski kita terpencar ketika hujan datang kita masih sama-sama dalam perjalanan dan engkau sama sekali tidak basah, begitui juga ketika kami menunggangi kuda yang cepat, akan tetapi kami tetap tidak bisa mencapai tempat berteduh, apalagi dengan tunggangan yang lamban ini tentu saja akan membuat kami kebasahan.”

Abu Nawas tersenyum mendengar pertanyaan baginda yang sudah sangat penasaran padanya, ia lalu menjawab:

“Mudah sekali baginda raja, Hamba sebenarnya tidak menghindar dari hujan. Tapi ketika hujan datang hamba cepat-cepat membuka pakaian dan melipatnya, kemudian hamba langsung mendudukinya sehingga pakaian hamba tetap kering. Dan ketika hujan berhenti hamba kemudian memakainya lagi.”


Kisah Abu Nawas - Ayam Pangang Petaka


Suatu Hari, Baginda raja Harun Al Rasyd sedang berpikir keras di atas singgasananya. Ia sedang memikirkan cara untuk menjebak Abu Nawas dalam sebuah kesalahan sehingga ia dapat memberi hukuman pada Abu Nawas. Rencana ini dilakukan bukan tanpa alasan, sudah beberapa kali Abu Nawas telah membuatnya malu di depan para pejabat kerajaan. Berlatar belakang dendam inilah akhirnya Raja hendak membuat jebakan terhadap Abu Nawas dan berharapbAbu Nawas gagal menghadapi jebakan tersebut.

Ketika cara sudah ditemukan, segala sesuatu pun mulai dipersiapkan. Abu Nawas lalu diundang dalam sebuah jamuan makan bersama para petinggi negeri.Ketika semua tamu undangan sudah berhadir termasuk sang target  si Abu Nawas,

Baginda pun mulai bertanya,

"Wahai Abu Nawas, di depan mejaku itu ada sepanggang daging ayam yang lezat dan enak dilahap, tolong segera ambilkan." Perintah baginda.

Abu Nawas keheranan dengan perintah baginda, karena tidak biasanya ia disuruh mengambilkan makanan raja.

"Mungkin ini jebakan, sepertinya aku harus waspada." Pikir Abu Nawas.

Ia pun menuruti perintah baginda. Setelah mengambil ayam panggang tersebut, Abu Nawas kemudian bermaksud memberikannya langsung kepada baginda sesuai perintah. Namun, baginda belum langsung menerimanya, akan tetapi ia kembali berkata,

"Abu Nawas, di tangan kamu ada sepotong ayam panggang lezat, silahkan dinikmati !!"

Segera Abu Nawas melaksanakan perintah baginda. Akan tetapi begitu ia hendak menyantap ayam panggang tersebut, tiba-tiba baginda kembali menyela,

"Tapi ingat Abu Nawas, dengarkan dulu petunjuknya. Jika kamu memotong paha ayam itu, maka aku akan memotong pahamu dan jika kamu memotong dada ayam itu, maka aku juga akan memotong dadamu. Tidak hanya itu saja, jika kamu memotong dan memakan kepala ayam itu, maka aku akan memotong kepalamu. Akan tetapi kalau kamu hanya mendiamkan saja ayam panggang itu, akibatnya kamu akan aku gantung."

Ternyata dugaan Abu Nawas benar, baginda ingin menjebaknya. Abu Nawas merasa bingung dengan petunjuk yang dititahkan baginda itu. Dalam kebingungannya, ia semakin tersiksa karena ayam panggang lezat yang harusnya bisa memuaskan rasa laparnya sejak sampai di istana, tapi malah menjadi petaka baginya. Abu Nawas pun mulai memutar otak cerdasnya untuk menemukan ide  meski sedang di bawah tekanan. Suasana di ruang makan itu menjadi tegang para pejabat saling memandang dan ada yang berbisik kecil. Mereka yang hadir tidak mengerti dengan maksud baginda terhadap Abu Nawas, karena mereka juga tidak diberitahukan sebelumnya. mereka hanya bisa menebak-nebak di dalam hati

Waktu terus berjalan hingga beberama saat lamanya. Baginda dan para pejabat kerajaan mulai menikmati hidangan yang disediakan. Sedang Abu Nawas hanya bisa memegang dan melihat-lihat ayam panggang saja.

Tidak berapa lama setelah itu, Abu Nawas mulai bertingkah aneh, ia mulai membolak-balikkan ayam panggang itu. Sejenak suasana menjadi hening. Kemudian Abu Nawas mulai mendekatkan ayam panggang itu tepat di indera penciumannya.

Baginda dan para pejabat yang hadir mulai bingung dan tidak mengerti apa yang dilakukan Abu Nawas. Mereka terus memperhatikan Abu Nawas. Kemudian terlihat Abu Nawas mendekatkan indera penciumannya tepat di bagian (maaf) pantat daging ayam panggang yang kelihatan sangat lezat itu. Ia pun terus melakukan itu berulang-ulang, kemudian tiba-tiba ia berkata,

"Jika saya harus memotong paha ayam ini, maka Baginda akan memotong pahaku, jika saya harus memotong dada ayam ini, maka Baginda akan memotong dadaku, jika saya harus memakan dan memotong kepala ayam ini, Baginda akan memotong kepalaku dan jika aku diam saja maka aku akan digantung, tetapi coba lihat sekarang, yang saya lakukan adalah mencium pantat ayam ini." Kata Abu Nawas.

"Apa maksudmu, wahai Abu Nawas?" Tanya Baginda.

"Maksud hamba adalah jika hamba melakukan demikian maka Baginda juga akan membalasnya demikian, layaknya ayam ini. Nah, saya hanya mencium pantat ayam panggang ini saja, maka Baginda juga harus mencium pantat ayam panggang ini pula." Jelas Abu Nawas.

Sontak saja penjelasan Abu Nawas itu membuat suasana yang tegang menjadi tampak tidak menentu. Para pejabat yang hadir menahan tawa,  karena takut dihukum raja. Sementara itu, baginda raja yang mendengar ucapan Abu Nawas mulai memerah mukanya, merasa sangat malu. Baginda pun cepat-cepat berencana merubah keadaan yang sangat memalukannya itu. Ia pun segera memerintahkan Abu Nawas untuk pulang dan membawa serta ayam panggang dan beberapa makanan lain, karena ia belum sempat makan

"Wahai Abu Nawas, cepat pulanglah, jangan sampai aku berubah pikiran." Kata raja.

Abu Nawas pun segera pamit pulang beserta ayam panggangnya. Setibanya di rumah, ia mengundang beberapa tetangganya untuk makan bersama menikmati ayam panggang yang tadi hampir saja menjadi petaka baginya.

Install App from: https://play.google.com/store/apps/details?id=com.kaminggi.AbuNawasKocakDanBijak